Kamis, 18 Agustus 2011

Stilistika

Sedangkan menurut C. Bally, Jakobson, Leech, Widdowson, Levin, Ching, Chatman, C Dalan, dan lain-lain menentukan stilistika sebagai suatu deskripsi
linguistic dari bahasa yang digunakan dalam teks sastra. Bagi Leech, stilistik adalah simple defind as the (linguistic) study of style. Wawasan demikian sejalan dengan pernyataan Cummings dan Simmons bahwa studi bahasa dalam teks sastra merupakan…branch of linguistic called stylistic. Dalam konteks yang lebih luas, bahkan Jakobson beranggapan bahwa poetics (puitika) sebagai teori tentang system dan kaidah teks sastra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Linguistic. Bagi jakobson 
Poetics deals with problem of verbal structure, just as he analysis of painting is concered with pictorial structure since linguistics  is the global science of verbal structur, poetics may be regarded as an integral of linguistic (Amminuddin :1995 :21).   
Berbeda dengan wawasan di atas, Chvatik mengemukakan Stilistika sebagai kajian yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagai kode estetik dengan kajian stilistik yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagaimana bahasa menjadi objek kajian linguistik (Aminuddin :1995 :22). Sedangkan menurut Rene Wellek dan Austin Warren, Stilistika perhatian utamanya adalah kontras system bahasa pada zamannya (Wellek dan Warren : 1990 : 221).
Bertolak dari berbagai pengertian di atas, Aminuddin mengartikan stilistika sebagai studi tentang cara pengarang dalam menggunakan system tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan system tandanya. Walaupun fokusnya hanya pada wujud system tanda untuk memperoleh pemahaman tentang ciri penggunaan system tanda bila dihubungkan dengan cara pengarang dalam menyampaikan gagasan pengkaji perlu juga memahami (i) gambaran obyek/peristiwa, (ii) gagasan, (iii) ideologi yang terkandung dalam karya sastranya (Aminuddin : 1995 :46).

Prosedur Kajian Stilistika
Kajian Stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif. Dinyatakan demikian karena ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan, kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan system tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat dipertanggung jawabkan. Landasan empiric merujuk pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian.
Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati,memahami,dan menghayati system tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang.
Dari penjelasan selintas di atas dapat ditarik kesimpulan tentang analisis yang dilakukan apresiasi sastra meliputi :
  1. Analisis tanda baca yang digunakan pengarang.
  2. Analisis hubungan antara system tanda yang satu dengan yang lainnya.
  3. Analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya (Aminuddin : 1995 :98).

Kaitannya dengan kritik sastra, kajian stilistika digunakan sebagai metode untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impesionistis dan subyektif. Melalui kajian stilistika ini diharapkan dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria obyektifitas dan keilmiahan (Aminuddin :1995 : 42).
Pada kritik sastra ini prosedur analisis yang digunakan dalam kajian stilistika, diantaranya :
  1. Analisis aspek gaya dalam karya sastra.
  2. Analisis aspek-aspek kebahasaan seperti manipulasi paduan bunyi, penggunaan tanda baca dan cara penulisan.
  3. Analisis gagasan atau makna yang dipaparkan dalam karya sastra (Aminuddin : 1995 :42-43).

Implikasi Analisis Kajian Stilistika dalam Puisi Goenawan Mohammad
Kwartin Tentang Sebuah Poci
Pada keramik tanpa nama itu
Kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol, ternyata
untuk sesuatu yang tak ada

Apa yang berharga pada tanah liat ini
Selain separuh ilusi
Sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi

  1. a.  Analisis Sistem Tanda yang Digunakan Pengarang              
Pada puisi Goenawan Mohammad di atas bila diperhatikan terdapat paparan gagasan dalam komunikasi keseharian, namun jika ditinjau lebih lanjut dalam setiap kata, larik, bait dan tanda yang digunakan tentulah memiliki beban maksud penutur. Misalnya pada larik “sesuatu yang kelak retak” dapat menuasakan gagasan kehidupan manusia itu tidak abadi. Serta penggunaan lambang retak biasanya mengacu pada benda yang mudah pecah namun di sini pengarang ingin memberikan efek emotif sehingga retak tak lagi mengacu pada makna realitas namun secara asosiatif dihubungkan dengan kematian atau kefanaan tubuh manusia.

  • b.  Analisis Gaya Pemilihan Kata
Gaya pemilihan kata pada dasarnya digunakan pengarang untuk memberikan efek tertentu serta untuk penyampaian gagasan secara tidak langsung sehingga memiliki kekhasan tersendiri. Pada puisi Goenawan Mohammad pun terdapat manipulasi penggunaan kata misalnya pada larik “Apa yang berharga pada tanah liat ini” Penggunaan kata tanah liat pada paparan tersebut dapat diartikan dengan apa yang berharga dari tubuh manusia ini apabila pengarang menuliskan gagasan dengan “Apa yang berharga pada tanah liat ini, tanah liat hanyalah tanah yang halus. Tentu asosiasinya menjadi lain.

  • c.  Analisis Penggunaan Bahasa Kias
Bahasa kias merupakan penggantian kata yang satu dengan kata yang lain berdasarkan perbandingan ataupun analogi ciri semantis yang umum dengan umum,yang umum dengan yang khusus ataupun yang khusus dengan yang khusus. Perbandingan ataupun analogi tersebut berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang dipindahkan dalam menggambarkan citraan maupun gagasan baru (Aminuddin : 1995 : 227).
Kiasan yang dimaksud memiliki tujuan untuk menciptakan efek lebih kaya, lebih efektif, dan lebih subyektif dalam bahasa puisi. Pada puisi Goenawan Mohammad kiasan yang banyak digunakan adalah metafora yakni kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan langsung itu tidak disebutkan. Jadi ungkapan itu langsung berupa kiasan. Contoh klasik : Lintah darat, bunga bangsa, kambing hitam dan sebagainya (Herman J. Waluyo : 1987 : 84). Dalam “Kwatrin Tentang Sebuah Poci” Goenawan Mohammad, wajah manusia dikiaskan sebagai sebuah keramik tanpa nama.

d.  Pengimajian
Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian dan data konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran atau cita rasa.
Baris-baris puisi Goenawan yaitu “Pada keramik  tanpa nama itu kulihat kembali wajahmu”  menunjukkan adanya pengimajian secara visual (melukiskan sesuatu melalui imaji penglihatan).

e. Analisis penggunaan bunyi
Pada kutipan puisi Goenawan Mohammad terdapat kesamaan rima yakni pada kata “ini” yang terdapat dalam baris ke-5 dan “ilusi” pada baris ke-6 serta terdapat juga kesamaan rima yakni pada baris ke-7 pada kata “kelak retak.”

f. Analisis Makna puisi
Pada puisi Goenawan Mohammad gagasan yang ingin disampaikan dalam puisi “Kwartin Tentang Sebuah Poci” adalah kehidupan yang tak abadi namun dipaparkan semisal dalam larik pada keramik tanpa nama itu / kulihat  kembali wajahmu dapat diasosiasikan, keramik pada larik tersebut maknanya adalah benda yang terbuat dari tanah liat dan sifatnya mudah pecah hal ini disamakan dengan manusia yang merupakan benda dan tubuhnya bisa rusak kemudian larik mataku belum tolol, ternyata / untuk sesuatu yang tak ada dapat diasosiasikan dengan melihat sesuatu yang akan musnah untuk larik Apa yang berharga pada tanah liat ini / selain separuh ilusi dapat diasosiasikan sebagai apa yang berharga pada tubuh manusia selain bayang-bayang dan larik terakhir yaitu sesuatu yang kelak retak / dan kita membikinnya abadi dapat diasosiasikan dengan tubuh manusia ini seakan hanya bayang-bayang yang suatu saat akan rusak / tidak abadi dan melalui tubuh manusia yang tak abadi ini manusia membuat sesuatu yang abadi.        

Daftar Rujukan

Aminuddin. 1995. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Waluyo, Herman. J. 1987. Teori dan Apresiasi puisi. Jakarta: Erlangga.
Wellek, Rene, dan Warren, Austin. 1990. Teori Kesusasteraan.

Kamis, 11 Agustus 2011

Sejarah Sasta 1

Pengertian sejarah menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yg benar-benar terjadi di masa lampau. Atau menurut catatan perkuliahan yang saya ikuti, pengertian sejarah yaitu cabang ilmu sastra yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak awal pertumbuhannya sampai pada perkembangan sastra saat ini.
Cabang-cabang yang ada dalam ilmu sastra yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Teori sastra merupakan bagian yang membahas hakikat dan pengertian sastra, sedangkan kritik sastra adalah ilmu sastra yang menyelidiki karya sastra secara langsung. Adakah di antara kalian yang tahu hubungan timbal balik antara cabang-cabang sastra tersebut? Berikut ini saya gambarkan relasi ketiganya.

Hubungan timbal-balik antara teori sastra dengan sejarah sastra:
• Teori sastra muncul karena telah diadakan penyelidikan terhadap sastra (sejarah sastra).
• Teori sastra diperlukan untuk mengonfirmasi tentang sejarah sastra.
• Sejarah sastra memerlukan teori sastra dalam perjalanannya.
• Teori sastra dapat berubang/berkembang sesuai dengan perubahan sejarah sastra/perjalanan dunia sastra.
Hubungan timbal-balik antara kritik sastra dengan sejarah sastra:
• Adanya kritikan terhadap sastra (karya sastra) mempengaruhi perjalanan sejarah sastra.
• Kritik sastra memerlukan bahan dari sejarah sastra.
• Perkembangan sejarah sastra tidak terlepas dari kritik sastra.
Hubungan antara teori sastra dengan kritik sastra:
• Dengan bermodalkan teori sastra, kita dapat mengkritik suatu sastra (karya sastra).
• Adanya kritikan terhadap sastra, dapat memengaruhi teori sastra. Mungkin berupa penambahan/pengurangan terhadap teori tertentu, atau dapat juga berupa konfirmasi terhadap teori sastra tertentu.
(sebenarnya artikel ini sangat panjang, tetapi baru ini yang dapat saya posting. Ditunggu saja ya posting selanjutnya…)
any request???

Sejarah Sastra

Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan adat yang sedang menghadapi akulturasi dan dengan demikian menimbulkan berbagai problem bagi kelangsungan eksistensi masing-masing, sedangkan periode 1933-1942 diwarnai pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan romantis-idealis. Kemudian terjadi perubahan pada periode 1942-1945 atau zaman pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian, peralihan, dan kegelisahan.
Warna perjuangan dan pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Kemudian pada periode 1961-1967 tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra.
Tentu saja analisis Ajip Rosidi hanya berlaku sampai tahun 1967, sebab bukunya terbit pada tahun 1968.
Format baru
Kalau momentum sosial-politik masih dipergunakan sebagai ancangan periodisasi sejarah sastra Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat format baru dengan menempatkan tiga momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial, politik, dan budaya, yaitu proklamasi kemerdekaan 17-8-1945, geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998.
Tentu saja ketiga momentum nasional tersebut tidak dengan sendirinya terkait dengan gejala-gejala yang berkembang dalam karya sastra yang bermunculan pada sekitar tahun-tahun yang bersangkutan. Momentum itu hanya dipergunakan sebagai ancangan teoretis untuk memudahkan analisis para ahli sastra.
Proklamasi 17-8-1945 jelas merupakan klimaks perjuangan merebut kemerdekaan walaupun nyatanya tidak otomatis menjadikan republik ini berdiri tegak dan terbebas dari rongrongan berbagai pihak.
Geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965 jelas bukan peristiwa yang tiba-tiba terjadi dan akibatnya berkepanjangan hingga belasan tahun kemudian. Demokrasi terpimpin yang kemudian berganti dengan demokrasi Pancasila tidak membuahkan kebebasan berpikir yang memuaskan. Selama belasan tahun terakhir kekuasaan Orde Baru, makin dirasakan pemasungan kreativitas.
Reformasi politik Mei 1998 dapat dipandang sebagai klimaks kehendak masyarakat untuk memperoleh kehidupan sosial, politik, dan budaya yang lebih segar, santun, dan demokratis. Akan tetapi, sampai sekarang pun belum dirasakan hasilnya.
Meskipun demikian, peristiwa-peristiwa tersebut telah menimbulkan perubahan-perubahan sosial-politik yang mendasar dan secara teoretis dapat dipercaya besar pengaruhnya terhadap pandangan, pemikiran, gaya, dan teknis pengucapan sastra. Analisis struktural Umar Yunus tentang perkembangan puisi Indonesia dan Melayu modern (Bhratara, Jakarta, 1981) dan telaah struktural tentang novel Indonesia (Universiti Malay, Kuala Lumpur, 1974) barangkali dapat dipergunakan sebagai rujukan untuk menjelaskan perubahan-perubahan tersebut.
Rujukan lain adalah telaah Jakob Sumardjo tentang sejarah perkembangan teater dan drama Indonesia (STSI Press, Bandung, 1887). Jakob memandang sejarah teater Indonesia sejak pertengahan abad ke-18, sedangkan sastra drama Indonesia berawal pada tahun 1925. Sementara itu, Korrie Layun Rampan (1982) pernah menulis sejarah perkembangan cerita pendek Indonesia yang alurnya ternyata tidak sama benar dengan perkembangan genre yang lain.
Memang sudah saatnya dikembangkan pengkajian sejarah pertumbuhan dan perkembangan genre-genre sastra Indonesia sehingga diperoleh gambaran umum mengenai sejarah puisi, sejarah cerpen, sejarah teater, dan sejarah roman Indonesia. Namun, pengkajian sejarah sastra Indonesia secara garis besar (makro) seperti yang sudah dikerjakan Ajip Rosidi dan Teeuw tetap saja diperlukan untuk pengajaran sastra di sekolah menengah, fakultas sastra, dan apresiasi masyarakat. Untuk keperluan seperti itulah barangkali sudah saatnya dipertimbangkan tawaran format baru sejarah sastra Indonesia.
Empat masa
Tanpa memperdebatkan pemakaian istilah periode, masa, babak, tahap, dan sejenisnya, sementara ini ditawarkan istilah masa dengan pengertian kurun waktu yang panjang dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia.
Dengan mempertimbangkan ketiga momentum tadi maka diperoleh empat masa perjalanan sejarah sastra Indonesia, yaitu masa pertama mencakup tahun 1900-1945, masa kedua mencakup tahun 1945-1965, masa ketiga mencakup tahun 1965-1998, dan masa keempat yang dimulai pada tahun 1998 hingga waktu yang belum dapat diperhitungkan.
Mungkin diperlukan nama atau sebutan yang memudahkan orang memahami ciri-ciri pokok setiap masa. Penamaan itu bisa disesuaikan dengan prosesnya, seperti kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, dan sebagainya. Tetapi, penamaan seperti itu tidak memperlihatkan ciri khas untuk sastra Indonesia. Boleh juga dipergunakan peristiwa atau gejala terpenting sebagai penanda tertentu, seperti Balai Pustaka, Pujangga Baru, Gelanggang, Manifes Kebudayaan, Horison, dan lain-lain. Akan tetapi, ini pun masih mengandung kelemahan karena cenderung mengabaikan peristiwa lain yang mungkin derajat kepentingan sepadan.
Misalnya, penerbit Balai Pustaka sampai sekarang tetap berjaya sehingga bisa timbul kekaburan antara Balai Pustaka tahun 1920-an dengan Balai Pustaka tahun 1980-an. Contoh lain, kalau Manifes Kebudayaan dipandang penting pada tahun 1960-an, bisa diperdebatkan juga kepentingannya dengan Lekra yang merupakan lawannya. Kalau dipergunakan nama tokoh untuk penanda masa tertentu, bisa juga timbul perdebatan seru karena ketokohan itu pun relatif dan bahkan bisa dibilang kultus individu. Memang pernah ada sebutan Angkatan 45 atau Angkatan Chairil Anwar, tetapi tampaknya tidak bertahan.
Dapat juga dipergunakan angka tahun, seperti 1920-an, 1930-an, dan seterusnya. Tetapi, pembagiannya akan menjadi rumit di masa mendatang, sedangkan perubahan ciri-cirinya belum tentu tampak pada rentang waktu sepuluh tahunan. Padahal, maksudnya adalah memberi tanda pada gejala-gejala yang terjadi dalam rentang waktu yang panjang. Mungkin dua puluh tahun, tiga puluh tahun, atau lebih.
Dengan menyisihkan kerangka teori yang rumit-rumit itu lantas terpikir kemungkinan penamaan dengan memanfaatkan ciri-ciri sosial politiknya yang sudah populer untuk mencakup seluruh genre: puisi, prosa, dan drama yang sebenarnya masing-masing memiliki alur perjalanan sendiri-sendiri. Tentu saja pemikiran awal ini masih perlu dikaji lebih lanjut dan terbuka untuk perdebatan dan polemik.
Dengan meminjam baju politik yang dianggap populer dan tetap mempertimbangkan nasionalisme maka penamaan keempat masa perjalanan sastra Indonesia itu bisa menghasilkan tawaran sebagai berikut:
Masa Pertumbuhan atau Masa Kebangkitan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1900-1945 dengan alasan bahwa pada masa itu telah tumbuh nasionalisme yang juga tampak dalam sejumlah karya sastra, seperti sajak-sajak Rustam Efendi, Muhamad Yamin, Asmara Hadi dan lain-lain. Yang jelas, pada masa itu bertumbuhan karya sastra yang sebagian sudah bersemangat Indonesia dan sekarang memang tercatat sebagai modal awal khazanah sastra Indonesia.
Masa Pergolakan atau Masa Revolusi dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1945-1965 dengan alasan bahwa pada waktu itu terjadi pergolakan semangat mempertahankan proklamasi kemerdekaan, pergolakan ideologi, dan pencarian konsep-konsep sastra. Berbagai gejala yang menandakan pergolakan itu antara lain terbitnya Surat Kepercayaan Gelanggang tahun 1949, munculnya organisasi kebudayaan bentukan partai, seperti Lekra, Lesbumi, LKN di tahun 1960-an; pasang surut majalah sastra seperti Kisah, Sastra, Tjerpen; kasus pengadilan cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panjikusmin, campur tangan kekuatan politik, pelarangan Manifes Kebudayaan, dan sebagainya.
Masa Pemapanan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1965-1998 dengan alasan pada masa itu terjadi pemapanan berbagai sistem: sosial, politik, penerbitan, dan pendidikan yang dampaknya tampak juga di bidang sastra Indonesia. Pada masa itu ilmu sastra Indonesia boleh dibilang semakin mapan di sejumlah fakultas sastra. Penelitian makin marak di mana-mana. Seminar, pelatihan, penerbitan, dan apresiasi sastra makin berkembang marak di berbagai komunitas sastra. Memang di sana-sini terjadi juga pembatasan dan penekanan, tetapi tidak mengurangi makna perkembangan dan kemapanan sastra Indonesia.
Pada akhirnya kehidupan sastra Indonesia selewat tahun 1998 harus dicatat dengan nama tertentu, misalnya Masa Pembebasan dengan alasan bahwa dalam lima tahun terakhir ini telah terjadi pembebasan kreativitas sastra. Meskipun buktinya belum bisa dibanggakan, gejalanya boleh dibilang sudah menggembirakan. Antara lain karya sastra yang tertekan selama masa pemapanan, seperti roman-roman Pramoedya Ananta Toer dan sejumlah "sastra perlawanan" sekarang bisa diterbitkan tanpa ketakutan apa pun.
Simpulan sementara ini sudah tiba saatnya sejarah sastra Indonesia direkonstruksi dengan format baru untuk kepentingan pengajaran, penelitian, dan apresiasi. Rekonstruksinya dapat dilaksanakan secara menyeluruh dengan memperhitungkan alur perjalanan yang sudah mencapai sekitar 80 tahun atau terbatas pada masa-masa tertentu dalam konteks keseluruhan sejarah. Kemungkinan lain adalah rekonstruksi sejarah tiap-tiap genre yang tetap ditempatkan dalam wadah sejarah sastra Indonesia.
Mengingat besarnya muatan sejarah sastra Indonesia itu maka diperlukan pembagian sejarah pertumbuhan dan perkembangannya menjadi empat masa seperti tersebut tadi, yaitu (1) masa pertumbuhan atau masa kebangkitan dengan angka tahun 1900-1945, (2) masa pergolakan atau masa revolusi dengan angka tahun 1945-1965, (3) masa pemapanan dengan angka tahun 1965-1998, dan (4) masa pembebasan dengan angka tahun 1998-sekarang.

Format Baru Sejarah Sastra Indonesia

  BERTOLAK pada kesepakatan ahli yang menyatakan sastra Indonesia berawal pada roman-roman terbitan Balai Pustaka tahun 1920-an, sejarahnya hingga sekarang terhitung masih sangat muda, sekitar 80 tahun. Meskipun demikian, produksinya boleh dibilang pesat, terutama di sektor puisi, cerpen, dan novel. Jumlahnya pasti menyulitkan siapa pun yang berambisi besar hendak membaca seluruh teks sastra Indonesia.
Sejarah mencatat hanya karya sastra dan peristiwa-peristiwa penting yang dibaca orang dari masa ke masa, terutama di jalur pengajaran, kritik, dan penelitian. Di luar kebutuhan itu sangat banyak karya sastra dan peristiwa kesastraan yang terlupakan. Karena itu, diperlukan buku-buku sejarah sastra yang bisa dirujuk pelajar, mahasiswa, peminat, dan ahli sastra. Dengan buku itulah masa lampau sastra Indonesia direkonstruksi sedemikian rupa sehingga berkembang pengetahuan yang memperkaya khazanah budaya masyarakat.
Boleh saja buku sejarah itu tidak dibutuhkan para pengarang dengan alasan subjektif. Boleh juga penulisannya menghasilkan beberapa versi dengan argumentasi masing-masing, sedangkan mana yang terbaik kelak akan ditentukan oleh publik sastra yang makin cerdas.
Penulisan sejarah sastra Indonesia yang mencakup perjalanan seluruh genre (puisi, prosa, drama), kritik, esai, dan peristiwa kesastraan, barangkali merupakan ambisi besar. Tetapi, kesempatannya tetap terbuka lebar setelah Ajip Rosidi membuktikan keberhasilannya menulis Ikhtisar Sejarah Indonesia (Bina Cipta, Bandung, 1968) dan Teeuw sukses menulis Modern Indonesian Literature III (Martinus Nijhoff, The Hague, 1979) yang terbilang monumental. Perkembangan sastra Indonesia dalam tiga puluh tahun terakhir ini saja sudah merupakan bahan besar untuk penulisan buku sejarah tersebut. Akan lebih besar lagi muatannya apabila orang melihat sejarah sastra Indonesia dari pertumbuhannya sejak awal tahun 1900.
Salah satu persoalan sejarah sastra Indonesia adalah perubahan zaman dengan gejolak sosial dan politik yang secara teoretis dipercaya besar pengaruhnya terhadap warna penciptaan sastra. Karena itu, wajarlah apabila perjalanan sejarah sastra Indonesia dibagi-bagi dengan mempertimbangkan momentum perubahan sosial dan politik, seperti tampak dalam buku Ajip Rosidi (1968).
Secara garis besar, Ajip membagi sejarah sastra Indonesia menjadi masa kelahiran atau masa kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 dan masa perkembangan yang mencakup kurun waktu 1945-1968. Pembagian yang lebih rinci dengan angka tahun menjadi 1900-1933, 1933-1942, 1942-1945, 1945-1953, 1953-1961, dan 1961-1967 dengan warna masing-masing sebagaimana tampak pada sejumlah karya-karya sastra yang penting.
Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan adat yang sedang menghadapi akulturasi dan dengan demikian menimbulkan berbagai problem bagi kelangsungan eksistensi masing-masing, sedangkan periode 1933-1942 diwarnai pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan romantis-idealis. Kemudian terjadi perubahan pada periode 1942-1945 atau zaman pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian, peralihan, dan kegelisahan.
Warna perjuangan dan pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Kemudian pada periode 1961-1967 tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra.
Tentu saja analisis Ajip Rosidi hanya berlaku sampai tahun 1967, sebab bukunya terbit pada tahun 1968.
Format baru
Kalau momentum sosial-politik masih dipergunakan sebagai ancangan periodisasi sejarah sastra Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat format baru dengan menempatkan tiga momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial, politik, dan budaya, yaitu proklamasi kemerdekaan 17-8-1945, geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998.
Tentu saja ketiga momentum nasional tersebut tidak dengan sendirinya terkait dengan gejala-gejala yang berkembang dalam karya sastra yang bermunculan pada sekitar tahun-tahun yang bersangkutan. Momentum itu hanya dipergunakan sebagai ancangan teoretis untuk memudahkan analisis para ahli sastra.
Proklamasi 17-8-1945 jelas merupakan klimaks perjuangan merebut kemerdekaan walaupun nyatanya tidak otomatis menjadikan republik ini berdiri tegak dan terbebas dari rongrongan berbagai pihak.
Geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965 jelas bukan peristiwa yang tiba-tiba terjadi dan akibatnya berkepanjangan hingga belasan tahun kemudian. Demokrasi terpimpin yang kemudian berganti dengan demokrasi Pancasila tidak membuahkan kebebasan berpikir yang memuaskan. Selama belasan tahun terakhir kekuasaan Orde Baru, makin dirasakan pemasungan kreativitas.
Reformasi politik Mei 1998 dapat dipandang sebagai klimaks kehendak masyarakat untuk memperoleh kehidupan sosial, politik, dan budaya yang lebih segar, santun, dan demokratis. Akan tetapi, sampai sekarang pun belum dirasakan hasilnya.
Meskipun demikian, peristiwa-peristiwa tersebut telah menimbulkan perubahan-perubahan sosial-politik yang mendasar dan secara teoretis dapat dipercaya besar pengaruhnya terhadap pandangan, pemikiran, gaya, dan teknis pengucapan sastra. Analisis struktural Umar Yunus tentang perkembangan puisi Indonesia dan Melayu modern (Bhratara, Jakarta, 1981) dan telaah struktural tentang novel Indonesia (Universiti Malay, Kuala Lumpur, 1974) barangkali dapat dipergunakan sebagai rujukan untuk menjelaskan perubahan-perubahan tersebut.
Rujukan lain adalah telaah Jakob Sumardjo tentang sejarah perkembangan teater dan drama Indonesia (STSI Press, Bandung, 1887). Jakob memandang sejarah teater Indonesia sejak pertengahan abad ke-18, sedangkan sastra drama Indonesia berawal pada tahun 1925. Sementara itu, Korrie Layun Rampan (1982) pernah menulis sejarah perkembangan cerita pendek Indonesia yang alurnya ternyata tidak sama benar dengan perkembangan genre yang lain.
Memang sudah saatnya dikembangkan pengkajian sejarah pertumbuhan dan perkembangan genre-genre sastra Indonesia sehingga diperoleh gambaran umum mengenai sejarah puisi, sejarah cerpen, sejarah teater, dan sejarah roman Indonesia. Namun, pengkajian sejarah sastra Indonesia secara garis besar (makro) seperti yang sudah dikerjakan Ajip Rosidi dan Teeuw tetap saja diperlukan untuk pengajaran sastra di sekolah menengah, fakultas sastra, dan apresiasi masyarakat. Untuk keperluan seperti itulah barangkali sudah saatnya dipertimbangkan tawaran format baru sejarah sastra Indonesia.
Empat masa
Tanpa memperdebatkan pemakaian istilah periode, masa, babak, tahap, dan sejenisnya, sementara ini ditawarkan istilah masa dengan pengertian kurun waktu yang panjang dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia.
Dengan mempertimbangkan ketiga momentum tadi maka diperoleh empat masa perjalanan sejarah sastra Indonesia, yaitu masa pertama mencakup tahun 1900-1945, masa kedua mencakup tahun 1945-1965, masa ketiga mencakup tahun 1965-1998, dan masa keempat yang dimulai pada tahun 1998 hingga waktu yang belum dapat diperhitungkan.
Mungkin diperlukan nama atau sebutan yang memudahkan orang memahami ciri-ciri pokok setiap masa. Penamaan itu bisa disesuaikan dengan prosesnya, seperti kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, dan sebagainya. Tetapi, penamaan seperti itu tidak memperlihatkan ciri khas untuk sastra Indonesia. Boleh juga dipergunakan peristiwa atau gejala terpenting sebagai penanda tertentu, seperti Balai Pustaka, Pujangga Baru, Gelanggang, Manifes Kebudayaan, Horison, dan lain-lain. Akan tetapi, ini pun masih mengandung kelemahan karena cenderung mengabaikan peristiwa lain yang mungkin derajat kepentingan sepadan.
Misalnya, penerbit Balai Pustaka sampai sekarang tetap berjaya sehingga bisa timbul kekaburan antara Balai Pustaka tahun 1920-an dengan Balai Pustaka tahun 1980-an. Contoh lain, kalau Manifes Kebudayaan dipandang penting pada tahun 1960-an, bisa diperdebatkan juga kepentingannya dengan Lekra yang merupakan lawannya. Kalau dipergunakan nama tokoh untuk penanda masa tertentu, bisa juga timbul perdebatan seru karena ketokohan itu pun relatif dan bahkan bisa dibilang kultus individu. Memang pernah ada sebutan Angkatan 45 atau Angkatan Chairil Anwar, tetapi tampaknya tidak bertahan.
Dapat juga dipergunakan angka tahun, seperti 1920-an, 1930-an, dan seterusnya. Tetapi, pembagiannya akan menjadi rumit di masa mendatang, sedangkan perubahan ciri-cirinya belum tentu tampak pada rentang waktu sepuluh tahunan. Padahal, maksudnya adalah memberi tanda pada gejala-gejala yang terjadi dalam rentang waktu yang panjang. Mungkin dua puluh tahun, tiga puluh tahun, atau lebih.
Dengan menyisihkan kerangka teori yang rumit-rumit itu lantas terpikir kemungkinan penamaan dengan memanfaatkan ciri-ciri sosial politiknya yang sudah populer untuk mencakup seluruh genre: puisi, prosa, dan drama yang sebenarnya masing-masing memiliki alur perjalanan sendiri-sendiri. Tentu saja pemikiran awal ini masih perlu dikaji lebih lanjut dan terbuka untuk perdebatan dan polemik.
Dengan meminjam baju politik yang dianggap populer dan tetap mempertimbangkan nasionalisme maka penamaan keempat masa perjalanan sastra Indonesia itu bisa menghasilkan tawaran sebagai berikut:
Masa Pertumbuhan atau Masa Kebangkitan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1900-1945 dengan alasan bahwa pada masa itu telah tumbuh nasionalisme yang juga tampak dalam sejumlah karya sastra, seperti sajak-sajak Rustam Efendi, Muhamad Yamin, Asmara Hadi dan lain-lain. Yang jelas, pada masa itu bertumbuhan karya sastra yang sebagian sudah bersemangat Indonesia dan sekarang memang tercatat sebagai modal awal khazanah sastra Indonesia.
Masa Pergolakan atau Masa Revolusi dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1945-1965 dengan alasan bahwa pada waktu itu terjadi pergolakan semangat mempertahankan proklamasi kemerdekaan, pergolakan ideologi, dan pencarian konsep-konsep sastra. Berbagai gejala yang menandakan pergolakan itu antara lain terbitnya Surat Kepercayaan Gelanggang tahun 1949, munculnya organisasi kebudayaan bentukan partai, seperti Lekra, Lesbumi, LKN di tahun 1960-an; pasang surut majalah sastra seperti Kisah, Sastra, Tjerpen; kasus pengadilan cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panjikusmin, campur tangan kekuatan politik, pelarangan Manifes Kebudayaan, dan sebagainya.
Masa Pemapanan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1965-1998 dengan alasan pada masa itu terjadi pemapanan berbagai sistem: sosial, politik, penerbitan, dan pendidikan yang dampaknya tampak juga di bidang sastra Indonesia. Pada masa itu ilmu sastra Indonesia boleh dibilang semakin mapan di sejumlah fakultas sastra. Penelitian makin marak di mana-mana. Seminar, pelatihan, penerbitan, dan apresiasi sastra makin berkembang marak di berbagai komunitas sastra. Memang di sana-sini terjadi juga pembatasan dan penekanan, tetapi tidak mengurangi makna perkembangan dan kemapanan sastra Indonesia.
Pada akhirnya kehidupan sastra Indonesia selewat tahun 1998 harus dicatat dengan nama tertentu, misalnya Masa Pembebasan dengan alasan bahwa dalam lima tahun terakhir ini telah terjadi pembebasan kreativitas sastra. Meskipun buktinya belum bisa dibanggakan, gejalanya boleh dibilang sudah menggembirakan. Antara lain karya sastra yang tertekan selama masa pemapanan, seperti roman-roman Pramoedya Ananta Toer dan sejumlah "sastra perlawanan" sekarang bisa diterbitkan tanpa ketakutan apa pun.
Simpulan sementara ini sudah tiba saatnya sejarah sastra Indonesia direkonstruksi dengan format baru untuk kepentingan pengajaran, penelitian, dan apresiasi. Rekonstruksinya dapat dilaksanakan secara menyeluruh dengan memperhitungkan alur perjalanan yang sudah mencapai sekitar 80 tahun atau terbatas pada masa-masa tertentu dalam konteks keseluruhan sejarah. Kemungkinan lain adalah rekonstruksi sejarah tiap-tiap genre yang tetap ditempatkan dalam wadah sejarah sastra Indonesia.
Mengingat besarnya muatan sejarah sastra Indonesia itu maka diperlukan pembagian sejarah pertumbuhan dan perkembangannya menjadi empat masa seperti tersebut tadi, yaitu (1) masa pertumbuhan atau masa kebangkitan dengan angka tahun 1900-1945, (2) masa pergolakan atau masa revolusi dengan angka tahun 1945-1965, (3) masa pemapanan dengan angka tahun 1965-1998, dan (4) masa pembebasan dengan angka tahun 1998-sekarang.

FILASAFAT GERAKAN (Pendidikan)

Manusia harus mempunyai pedoman, agar hidupnya terarah. Agar tidak goyah menghadapi rintangan-rintangan yang dihadapi dalam proses perjalanan hidup. Oleh karena itu setiap aktifitas hidup pun perlu dibimbing oleh pedoman atau teori yang ada.


Dunia pergerakan sebagai sebuah profesi revolusioner yang telah atau sedang dan yang akan kita geluti untuk membebaskan rakyat dari penindasan dan penghisapan kaum penindas pun memerlukan panduan berupa logika berpikir, tentunya logika berpikir yang sudah teruji keampuhannya dalam merontokan sistem penindasan. Adagium Rusia berkata:
" Tidak ada gerakan revolusioner tanpa teori revolusioner “, adalah benar tentunya.

Persoalan logika berpikir adalah masalah hubungan antara pikiran dan keadaan,  atau antara ide (pikiran) dengan materi. Antara mana yang lebih dahulu (primer) dan sekunder antara ide dan materi? Dengan logika berpikir maka kita akan bisa memilah persoalan, membuat prioritas-prrioritas tentang hal-hal yang mendesak yang harus dilakukan seorang aktivis gerakan untuk perubahan.

Jawaban atas pertanyaan ini membagi dua aliran filsafat yaitu: Idealisme dan Materialisme.

Idealisme memandang bahwa ide lebih dahulu (primer), kemudian disusul oleh materi (sekunder).

Materialisme memandang sebaliknya. Materi dahulu (primer), baru melahirkan ide (sekunder)
IDEALISME

Filsafat idealisme terbagi menjadi dua sebagai  berikut :

Idealisme Obyektif yaitu idealisme yang memandang bahwa terdapat ide yang berada di luar eksistensi manusia dan alam semesta. Semua yang material adalah hasil karya ide yang berada di luar manusia. Segala fenomena alam maupun fenomena sosial adalah hasil rekayasa ide obyektif tersebut. Hegel menyebut ide di luar manusia itu sebagai “ide Absolut” yang tidak terbatas pada/oleh ruang/tempat atau waktu. Jadi bersifat kekal immanen.  Dalam kehidupan sehari-hari pemikiran Idealisme Obyektif mengambil bentuk penumpuan segala sesuatu kepada apa yang disebut dengan tuhan, dewa, dan kekuatan- kekuatan ghaib lainnya. Logika Mistik adalah salah satu bentuk filsafat Idealisme Obyektif.

Idealisme Subyektif yaitu idealisme yang memandang bahwa dunia materi adalah sensasi-sensasi manusia, sedangkan pikiran dan perasaan adalah satu-satunya zat (substansi) yang riil. Orang yang selalu menumpukan harapan-harapan kepada ide manusia adalah contoh orang yang idealis subyektif.

Idealisme Obyektif menyangkal adanya dunia materil yang obyektif dan mengakui dunia yang riil hanya dalam sensasi  manusia.



MATERIALISME

Filsafat materialisme memandang bahwa materi lebih dahulu ada (primer) sedangkan ide atau pikiran adalah sekunder. Dengan kata lain materialisme mengakui bahwa materi menentukan ide, bukan  ide menentukan materi.

Contoh : Karena meja atau kursi secara obyektif ada maka orang berpikir tentang meja dan kursi. Bisakah seseorang memikirkan meja atau kursi sebelum benda yang terbentuk meja dan kursi belum atau tidak ada.



Filsafat Materialisme terbagi menjadi 4 (empat) :

a. Materialisme Primitif

Faham materialisme yang berkembang pada zaman Yunani Kuno kira-kira 600 tahun sebelum masehi. Secara ilmiah masih sederhana tetapi merupakan cikal bakal dari paham materialisme. Materialisme primitif  inilah berperan  dalam perkembangan paham Materialisme selanjutnya.



b. Materialisme Mekanik 

Materialisme mekanik memandang bahwa setiap gejala bagaikan mesin segala macam gerak dipandang hanya sebagai gerak mekanik yaitu pergeseran tempat dan perubahan jumlah saja tanpa perubahan secara kualitatif. Seperti gerak pada putaran rantai sepeda.



c. Materialisme  Metafisik

Materialisme metafisik  memandang bahwa  :

gejala alam sebagai suatu yang kebetulan saja.

tidak ada saling hubungan  antara  materi  (materi terpisah- pisah).

gejala alam adalah  diam,  tidak bergerak, berhenti, statis, mati dan tidak berubah-ubah.

Proses  perkembangan  materi sebagai proses sederhana, tidak ada perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif.



d. Materialisme Dialektika (Dialectica Materialism--DIAMAT)

Matrialisme Dialektika adalah materialisme yang memandang segala sesuatu selalu berkembang sesuai dengan hukum-hukum  dialektika. Hukum Dialektika: Hukum tentang saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku secara obyektif di dalam dunia semesta.

Rabu, 10 Agustus 2011

JADILAH NEGARA SEKUTU AMERIKA YANG TAAT

Kesalahan yang paling fatal bagi Rejim Reformasi (SBY-Kapitalis Liberal) adalah persekutuannya dengan Amerika Serikat (USA). USA yang berhasil menumbangkan rejim Orde Baru/Soeharto melalui agen-agennya dan para sekutunya, serta telah berhasil memunculkan kader utamanya (SBY) hingga munuju puncak kekuasaan, Partai Demokrat yang didirikan oleh politikus oportunis berhasil menduduki peringkat teratas dalam pemilu terakhir. USA sangat berkepentingan di Indonesia sejak keberhasilannya memenangkan Perang Dunia II. Mulai sedikit berhasil pada masa Soeharto dengan menghancurkan lawan politik utama mereka Komunis dengan bayaran mahal memasukan Ecxon Mobile dan Freeport serta simbol penjajahan khas kapitalis lainnya di Indonesia. Mempersiapkan agen-agen militer, ekonomi, dan intelektual muslim moderat (dengan menyekolahkan para perwira dan ekonom serta intelektual muslim ke USA). Dan menciptakan basis sistem ekonomi kapitalis (Bursa Efek Jakarta dan Surabaya) pada era 80-an.

Bagi Amerika untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sekutunya tidaklah terlalu sulit. Kebergantungan ekonomi, politik, dan militer sudah terlalu akut. Hingga rejim Soeharto saja yang mencoba menjauh dengan mudah ditumbangkanya. Dan ketika agen-agennya berhasil melakukan penetrasi politik hingga berkuasa, persekutuan itu menjadi lebih transparan lagi.

Setelah kekalahan Komunis di kancah internasional Islam adalah penghalang berikutnya bagi Amerika. Islam adalah sebuah agama yang mewajibkan bagi para penganutnya untuk penguasaan politik dan ekonomi secara makro. Kekhalifahan bagi umat islam adalah keniscayaan. Hal ini menjadi batu sandungan terbesar bagi prinsip internasionalisme-nya Kapitalis. Sosialisme islam yang dibatasi koridor-koridor syariat sangat bertentangan dengan prinsip cosmopolis dalam Liberalisme. Prinsip-prinsip anti-riba dalam Islam tidak akan menemukan titik temu dengan sistem kapitalis yang serba riba. Dan setelah keberhasilan Syi’ah di Iran serta Thaliban di Afganistan maka USA meyakini jika tidak segera dicegah dan diantisipasi Islam akan semakin berat untuk dihadapi.

Persekutuan yang paling penting bagi USA untuk menghadapi Islam adalah persekutuannya dengan Islam itu sendiri. Di Timur Tengah tidak ada satu negarapun yang tidak bersekutu dengan USA. Dan di Afrika hanya Somalia yang gagal dikuasai, sedangkan di Asia, Pakistan dan Indonesialah sekutu yang paling sulit diatasi, karena kronologis sejarah kedua Negara ini adalah sama, bahwa dimasa lalu kekuatan politik Islam sempat mendominasi hingga abad 17. Dan di abad 20, hanya dua Negara inilah dalam sejarah politiknya pernah muncul sebuah Negara Islam sebagai cikal bakal kemunculan Kekhalifahan baru dari Timur.

Kapitalisme di dalam Dunia Islam adalah ibarat bola panas, yang siap menggelinding membakar amarah rakyat (Umat Islam) hingga muncul pertentangan yang memicu konflik vertical (pemberontakan). Munculnya kelas borjuis (orang kaya dzalim dan birokrat korup) dalam sistem kapitalis merupakan pemicu ketidak adilan ekonomi dan hukum yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dan Indonesia yang Umat Islam-nya fanatik (tidak sekuler seperti di eropa timur) akan merespon negatif kondisi tersebut.

Dari sudut Politik, USA yang sedang berperang dengan Islam di Afganistan, Irak, dan Somalia akan menyeret penguasa Republik didalam perang global melawan kekuatan Islam yang mulai menguat di Indonesia. Umat Islam akan terbelah dalam keberfihakan yang akan memicu konflik horizontal sesama umat yang teradu domba. Sedangkan Republik akan menjadi sasaran dan target perang bagi para mujahidin yang telah lama memerangi USA di berbagai belahan dunia.

Dampak persekutuan dengan USA yang berakibat suburnya praktek kapitalisme di Indonesia akan mengakibatkan dukungan rakyat (umat islam) terhadap Republik akan semakin melemah hingga memunculkan sikap apatis terhadap politik yang merupakan titik awal dari pelepasan dukungan dan loyalitas politis. Sikap apatis rakyat juga dipicu oleh dampak sosial dari sistem kapitalis yang memunculkan karakter-karakter individualistik. Jika satu kebijakan saja dirasakan tidak adil, maka hal itu cukup untuk memicu pertentangan dan pemberontakan terhadap penguasa. Dan riak-riak dari kasus tanah, penggusuran lahan rakyat, terorisme, carut-marut pilkada, meningkatnya kriminalitas, kemiskinan masal bertambah, ketidak adilan hukum bagi rakyat, sudah cukup menjadi bukti bahwa kehancuran secara totalitas akan semakin dekat. Dan puncaknya adalah pemberontakan Umat Islam atas persekutuan politik dan militer Republik dengan USA sebagai pengkhianatan terbesar terhadap Umat Islam Bangsa Indonesia karena pada dasarnya mereka merupakan bagian dari Umat Islam dunia yang sedang dalam penindasan USA. Dan Republik Indonesia suatu saat nanti akhirnya hanya tinggal Negara yang terkubur dalam sejarah.

PENJAJAHAN OLEH BANGSA SENDIRI

Kemerdekaan Republik Indonesia adalah hadiah dari Penjajah Belanda (Konferensi Meja Bundar, 1950) hampir seluruh tatanan politik, ekonomi, hukum, militer diwarisi oleh Belanda. System birokrasi kepemerintahan, system hukum (KUHAP-KUHP), Badan Usaha Milik Negara, Sistem Parlementer, Sistem Perbankan, Pajak, Pertanahan, Sistem Pertahanan, dan masih banyak lainnya, seluruhnya lanjutan pola-pola yang diciptakan oleh Belanda.
Belanda menciptakan sistem kepemerintahannya di negara-negara jajahan adalah untuk kepentingan pemerintah Belanda. Paradigma pembentukannya berorientasi kepada keuntungan birokrat yang notabene sebagai perpanjangan pemerintah pusat di Belanda. Ketika peralihan kekuasaan terjadi pemerintahan Republik tidak serta merta merubahnya secara foundamental, meskipun Soekarno selalu melantunkan jargon-jargon politik berbau Revolusi (bahkan hingga sekarang paska Reformasi politik). Rakyat, bagi sistem yang dibentuk oleh paradigma penjajahan adalah tidak lebih sebagai alat dan komoditas. Rakyat hanyalah hitungan angka statistic sebagai tolak ukur pasar dan keuntungan. Sedangkan rakyat memandang pemerintahan Republik tidak lebih dari Tuan yang patut ditaati dan dipatuhi agar senantiasa aman dari tindakan yang lebih buruk lagi. Bagi Rakyat pemerintahan Belanda, Soekarno, Soeharto, Megawati, SBY, tidaklah jauh berbeda. Mereka adalah para juragan-juragan yang menyatakan diri sebagai pemilik negeri ini. Apa bedanya seorang Bule dan Jawa atau Sunda atau Batak atau Padang, jika pada kenyataannya mereka sama-sama mengambil keuntungan banyak dari Rakyat dengan bayaran recehan. Mengambil hak-hak Rakyat dengan cara memberikan sesuatu yang tidak sepadan.

Republik Indonesia nasibnya akan seperti Majapahit, sebuah kerajaan yang dianggap soko guru bagi idealisme Negara sebagai tolak ukur kesempurnaan masa lalu. Republik akan hancur oleh rakyatnya sendiri. Rakyat yang suatu saat nanti tersadarkan, bahwa Pemerintah mereka tidak lebih dari Penjajah yang memeras mereka tanpa empati diselimuti retorika dan jargon-jargon utopia.

Dan ketika kita melihat pada masa kekinian, bahwa Republik Indonesia masih tetap berdiri. Hal ini disebabkan keyakinan yang berlebihan dari para politikus-politikus yang disumpal mulut dan hatinya oleh Rupiah dari para Konglomerat, Birokrat Korup, dan segelintir orang lainnya yang mempunyai kepentingan besar secara individu untuk mempertahankan kekuasaan dan aset-asetnya. Rakyat masih enggan untuk menuntut hak-haknya, mereka masih menikmati penjajahan yang dialaminya, karena ketidak-perdulian bahkan sebagian dikarenakan ketakutan yang berlebihan (paranoid terhadap penindasan).

Tanah air yang terbentang luas ini diakui secara sepihak oleh Republik Indonesia (Soekarno dkk), Pemilik Sah Tanah Air ini adalah Umat Islam Bangsa Indonesia. Rakyat akan senantiasa menuntut hak miliknya ini ketika sadar dan mempunyai kekuatan. Suatu saat Republik akan dikembalikan lagi ke Tanah Karantina di Jogjakarata (Perjanjian Renville, 1948), jadi jangan pernah berharap penjajahan mereka terhadap Rakyat Indonesia akan berlangsung selamanya